profile-image
0
Cerita
0
Joy
 

Fan board

asooka
haii kak 💙 salam kenal ya 🙏💖 support ceritaku yukk - Membalas Perlakuan Anak dan Menantuku (Harta membuat anak dan menantunya menjadi gelap mata, apa yang harus di lakukan Nasti?) -Apa Yang Terjadi Pada Hanumku? (Apa penyebab Hanum si gadis manis hingga menjadi penderita ODGJ?) terimakasih 💖🙏💖
1
Reffi Ninang Aryani
RANJANG BARU UNTUK MADUKU BAB 1 IJAB QABUL "Sah...?" "Sah...!" Alhamdulillah.  Hari ini adalah hari pernikahanku dan suamiku, Mas Farid. Tepat pada hari ini, tanggal dua, bulan dua. Hari bahagia kami berdua. Hari dimana dua insan manusia telah dihalalkan oleh negara dan agama.  Aku tunaikan janji pada diriku sendiri, di hari ini. Aku berjanji akan berusaha menjadi istri solikhah. Istri yang selalu patuh terhadap suaminya. Lain dari itu, aku juga akan menjadi menantu yang patuh terhadap Bapak dan Ibu mertuaku. "Jadilah seorang Istri yang selalu patuh terhadap suamimu, Min. Kamu juga harus patuh dan taat terhadap Bapak Ibu mertuamu. Hormati mereka seperti kamu menghormati almarhum ayahmu dan almarhumah ibumu," pesan Kakek kepadaku. "Ia, Kek. Semoga saya dapat istiqamah seperti yang Kakek inginkan," tuturku. "Baguslah! Kakek dan saudara-saudaramu pulang dulu. Kamu baik-baik disini!" imbuh kakek. "Nak Farid, jaga cucuku baik-baik. Sayangi dia! Ingat! Kamu harus bisa menjadi sosok suami sekaligus ayah bagi cucuku." Kakekku memastikan bahwa suamiku akan menjagaku sebaik mungkin, sembari sesekali ia menyeka sedikit air mata yang tak sengaja membasahi pipi keriputnya. "InsyaaAllah, Kek. Kakek tidak perlu risau. InsyaaAllah saya akan menjaga dan menyayangi Cucu Kakek. Doakan kami, semoga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah," tandas suamiku. Akhirnya Kakek pun berlalu dari rumah ini bersama rombongan yang ikut mengiringi acara ijab qabulku dengan Mas Farid.  Perlahan aku lihat langkah kaki Kakek pergi ke luar ruangan ini meninggalkanku. Disini. Di tengah keluarga ini. Keluarga baru untukku. Lelaki yang baru aku kenal tak lebih dari empat bulan saja. Kulihat Kakek menengokkan kepalanya ke arahku sebelum ia menghabiskan langkah kakinya dari ruangan ini sembari melempar senyum kepadaku.  Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Kakek seorang diri di rumah. Tanpa siapapun. "Semoga Kakek selalu dalam keadaan baik-baik saja dan selalu dalam perlindungan-Nya," lirihku dalam hati. Mas Farid, suamiku, adalah seorang putra tunggal dari bapak mantan kepala desa yang disegani di desa ini.  Kebetulan kami dulu pernah menjadi santriwan dan santriwati di Pondok Al Islam yang berada di kota ini.  Mas Farid adalah seniorku. Namun, kami tak saling mengenal. Aku hanya tahu bahwa Mas Farid adalah seorang senior yang juga menjabat sebagai lurah pondok. Singkatnya, Mas Farid pernah menolong kakekku sewaktu Kakek pulang dari sawah.  Sepeda Kakek yang rusak, membuat Kakek harus pulang jalan kaki dengan memanggul hasil panennya. Dan pada saat itulah hati Mas Farid tergerak untuk mengantar Kakek pulang. Disitulah kami saling mengenal. Ya, kami cepat mengenal. Obrolan kami sangat nyambung, kala itu. Di hari itu saja dan tak lebih dari satu jam lamanya.  Tak lama kami ta'aruf. Bulan November kami bertemu di rumah. Bulan Desember Mas Farid berkunjung ke rumah dengan membawa banyak oleh-oleh. Mas Farid juga membeli bebek peliharaan kakekku dengan harga yang lebih. Mungkin hanya untuk basa-basi saja. Aku yakin, sejatinya waktu itu Mas Farid sedang mengincarku.  Singkatnya, bulan Januari Mas Farid meminangku dan bulan Februari kami menikah. Ya, tepat di hari ini. Alhamdulillah, ya Allah. Semoga kami dapat menjadi pasangan yang saling melengkapi satu sama lain. "Dek Minari, mari silakan duduk! Pasti kamu capek. Seharian duduk terus, pakai baju pengantin seribet ini, ditambah ndak makan apa-apa." Sahut Bapak mertuaku yang bernama Pak Tejo. Mantan Kades Desa Dadapan. Yang terkenal karena kebaikan dan kebijakannya.  "Sudahlah Pakne, biar! Nanti kalau capek juga pasti duduk! Ribut terus Bapak ini!" tukas Ibu mertuaku. Bu Sumirah. Yang lebih familier dipanggil Bu Tejo. "Anu aja, tamu sudah pada pulang. Ini saudara yang rewang-rewang biar ngeberesin semua gawean. Kamu bisa mandi juga makan. Ya! Makan! Harus makan! Dari pagi lho! Pasti lapar. Ayo, ayo! Ini lho Rid, istri kamu mbok ya diajak ke kamar. Kasihan!" Bapak mertuaku menyuruh kami untuk istirahat. Kulihat tangannya mengarah ke sudut pintu kamar Mas Farid yang ada di ruang belakang. "Ayo, Dek! Mas bantu jalan. Susah 'kan pakai baju pengantin seribet ini?" Mas Farid mencoba mencairkan keteganganku. Maklum saja jika aku setegang ini karena hari ini adalah hari pertama kali aku berdekatan dengan seorang laki-laki. Aku ikuti tawaran Mas Farid, suamiku. Aku berjalan menuju kamar suamiku dengan pelan. Tak lupa suamiku memapahku karena aku tak bisa leluasa berjalan dengan baju pengantin seribet ini. Dibukanya pintu kamar ini untukku. Aku lihat kamar suamiku sangat bersih. Maklum saja karena rumah suamiku terbilang cukup mewah yang ada di desa ini. Berbanding terbalik dengan rumahku. Rumah kayu sederhana. Namun, penuh cinta di dalamnya. Ya, cinta kakekku untukku.  Kakek luar biasa yang sudah banyak jasanya untukku. Kakek sekaligus ayah juga ibu. Kakek bilang, ayahku meninggal saat aku umur tiga tahun. Kala itu ayahku jatuh dari pohon kelapa karena menyadap nira. Sedangkan ibuku meninggal karena sakit saat aku berumur empat tahun. Disaat umur itulah, aku hidup bersama Kakek seorang diri. Tanpa Ayah juga Ibu. "Dek, itu kamar mandinya. Silakan kalau mau bersih-bersih badan!" "Ya, Mas." Aku menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur ini. "Ohya, Mas. Handuk. Ada?" tanyaku dari dalam kamar mandi. "Oh, lupa. Di almari, ya! Almari putih," ucap Mas Farid. Kulihat tangannya menunjuk sebuah almari putih di sudut kamar ini. Aku bergegas keluar kamar mandi dan membuka pintu almari putih sesuai dengan arahan Mas Farid. "Banyak sekali baju perempuan", gumamku. "Ini–?" "Ia, itu baju kamu semua. Sudah Mas siapkan. Itu ada baju gamis, baju kurung, tapi nggak ada celana jins ya!" candanya. Mas Farid sangat faham jika alumni santriwati Pondok Al-Islam tak pernah berani memakai celana jins. Segera aku bergegas kembali menuju kamar mandi.  Kuambil shower yang tergantung pada gagangnya. Kusiramkan titik-titik air dingin ini pada tubuhku.  Segarnya mandi kali ini. Semoga setelah mandi nanti, tubuhku terasa lebih ringan dan nyaman. Betapa tidak, jam tiga dini hari aku sudah bangun dan siap untuk dirias. Jam tujuh pagi aku sudah bersimpuh di masjid untuk melaksanakan ijab qabul. Jam sembilan pagi aku sudah duduk manis di atas pelaminan sampai dengan jam empat sore.  "Sudah, Dek?" Kudengar suara Mas Farid dari luar kamar mandi memanggilku. "Jangan lupa wudlu sekalian, kita langsung Shalat Ashar," imbuhnya. Aku segera bergegas membilas tubuhku dan meraih handuk putih yang sudah aku siapkan tadi. Kupakailah gamis yang sudah dibelinya untukku.  "Alhamdulillah, pas sekali," desisku. Segera aku keluar kamar mandi dan menunaikan Shalat Ashar bersama suamiku.  Tok… tok… tok…! "Riiid, Fariiid!" Tiba-tiba aku mendengar suara Ibu mertuaku berteriak memanggil suamiku dari balik pintu. "Ya, Bu!" Suamiku berlari kecil untuk segera membukakan pintu itu. "Kamu ini, baru saja punya istri sudah ngumpet di kamar terus. Nggak keluar-keluar. Itu ada temanmu!" ketus ibu. "Ngumpet di kamar terus? Perasaan di kamar cuma mandi dan sholat. Astaghfirullah," lirihku. Sembari membuntuti suami keluar, hatiku berubah menjadi tidak karuan mendengar perkataan Ibu mertuaku tadi. Ah sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku berusaha menenangkan diri. *** Malam pun tiba. Ini malam kami berdua. Malam yang indah dimana kami berdua dapat meluapkan rasa cinta kami sebagai dua insan yang cintanya diridloi oleh Sang Maha Pemberi Cinta dan Maha Segala-galanya. Tak lupa malam ini kami awali dengan sholat berjamaah. Mas Farid menatapku dengan sayup mata yang berbinar sembari menyungging senyum manis untukku.  Entah apa yang aku rasakan. Tatapan mata suamiku membuat aku bergetar luar biasa. Tak kuasa aku menahan degupnya dada ini. Kusalami tangan Mas Farid seusai shalat dan ku ci-um punggung tangannya. Ditariknya kepalaku ke arah wajah suamiku yang tampan ini. Dici-umnya keningku dengan pelan dan penuh kehangatan. Tak terasa bulir air mata ini meleleh begitu saja. Menetes pelan membasahi mukena putih yang aku kenakan. Tak lupa Mas Farid memanjatkan doa untuk menunaikan kewajibannya malam ini bersamaku. Malam hangat yang penuh cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Sungguh betapa indahnya malam ini kami lalui bersama berdua.  *** Tok… tok… tok…!!! "Farid!!! Bangun!!! Sudah jam lima  ini!!! Farid!!!" seru ibu. "Astaghfirullah!"  Mas Farid tersentak karena suara teriakan ibu mertuaku. "Astaghfirullah. Kita nggak dengar adzan Subuh, Mas," ucapku gagap. "Nggak apa-apa. Bangun, kita mandi langsung sholat." "Aku bukakan pintu Ibu dulu, Mas", ucapku. "Jangan! Biar aku saja. Kamu mandi aja sana!" Jawab suamiku sembari menggeliatkan badannya. Seketika Mas Farid membukakan pintu untuk Ibu. "Oh, Ibu. Ia ini saya sama Dek Minari sudah bangun, Bu. Dek Minari lagi mandi. Kami siap-siap mau Shalat Subuh dulu!" Aku dengar sayup-sayup suara suamiku dan Ibu mertuaku dari dalam kamar mandi. "Ini ya, Rid. Sebelum keterusen. Ibu mau bilang. Bilang sama istrimu itu! Adzan Subuh mbok ya udah bangun. Langsung ke dapur. Bantuin Ibu masak. Mana ada, menantu bangun siang terus Ibu mertua yang menyiapkan sarapan. Kuwalat sama orang tua itu namanya!" "Ssssstttt…. Ibu! Nanti Dek Minari dengar. Ini kan jam lima, Bu. Belum siang juga. Maklum juga, pasti dia capek. Seharian kemarin kan baru saja ijab qabul. Suruh duduk terus. Banyak tamu juga."  Aku dengar sayup-sayup suamiku membelaku di depan ibunya. "Ya Allah, aku merasa ini pertanda kurang baik untukku. Sepertinya Ibu mertuaku kurang menyukai keberadaanku. Atau mungkin sebatas perasaanku saja," desisku dalam hati. *** "Ibu, selamat pagi. Sini biar saya yang masak, Bu." Aku buka obrolan dengan Ibu mertuaku pagi ini di dapur. Semoga dapat mencairkan suasana yang kurang nyaman di pagi ini. Hari pertama aku berada di rumah ini. "Ndak usah!" Ibu menolak tawaranku. Ia juga tak mau melihatku sedikitpun. "Oh ia, Bu, apa saya bantuin yang lain?" balasku. "Kamu dengar, ndak usah! Orang sudah matang semua. Ini saya sudah masak dari jam empat pagi lho! Sebelum kamu bangun. Bapak Farid itu terbiasa sarapan pagi-pagi sekali. Jam enam, masakan harus siap semua di meja makan!" Ibu mertuaku menjelaskan kepadaku. Kali ini nada suaranya semakin meninggi. "Oh ia, maafkan saya ya, Bu! Biar saya bersih-bersih rumah saja. Besok insyaaAllah saya bangun lebih pagi." Braakkkkk…! "Ngejawab terus kamu, ya! Kamu mau beberes rumah? Lha gimana kamu itu! Kamu lupa, ini kemarin, orang-orang, saudara-saudara Farid ini sampai jam dua malam beberes rumah. Lha kamu mau beresin apa? Udah bersih semua!" Ibu menjawab tawaranku sembari melempar tutup panci besar itu ke arahku. Tak terasa bulir air mata ini keluar begitu saja. "Istighfar Minari, sabar Minari, sabar, istighfar," rintihku dalam hati. "Ada apa teriak-teriak, Bune? Ndak malu didengar tetangga. Ada apa?" Bapak mertuaku terlihat panik mendengar keributan dari arah dapur. "Ndak apa-apa!" seru ibu. "Kamu nggak papa 'kan, Min?" tanya Bapak mertuaku. "Enggak, Pak. Nggak papa kok, Pak." Aku menjawab pertanyaan Bapak sembari menyungging senyum kecil untuk meyakinkan keadaan pagi ini. "Ya sudah kalau baik-baik saja. Langsung sarapan saja. Itu Farid lagi lari-lari kecil di halaman rumah. Suruh masuk, diajak sarapan. Kamu juga sarapan. Jangan sampai telat makan. Nanti jadi penyakit. Ini ni, asam lambung kayak Bapak kamu ini. Perut sudah buncit gini, tambah asam lambung pula!" Bapak mertuaku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit guyonannya. "Ohya, Min, kamu harus ingat, ini bapakmu punya penyakit asam lambung, kalau ibumu darah tinggi. Sukanya marah-marah terus. Untung cantik. Jadi Bapak suka. Kalau jelek, suka marah-marah ya bapakmu ndak mau sama ibumu. Ha ha ha!" Imbuh bapak mertuaku. Kulihat tawanya semakin keras mencoba merayu Ibu yang tengah merajuk. Entah lah apa sebabnya. "Situ!!! terserah kamu, Pakne!!!" Ibu menjawab dengan singkat. Aku tinggalkan dapur begitu saja. Aku ikuti saran Bapak mertuaku untuk menghampiri Mas Farid yang tengah berolah raga pagi di halaman rumah. "Mas sarapan, yuk," ajakku dari teras rumah. "Kamu masak apa?" Suamiku merespon ajakanku sembari mendekatiku dan merangkulku menuju meja ruang makan. "Ibu yang masak, Mas. Tadi aku masuk dapur, masakan sudah matang semua. Maafin aku ya, Mas," ucapku sedih. "Lho, kok minta maaf. Tidak apa-apa. Harusnya Mas yang minta maaf. Harusnya Mas bangun lebih awal terus bangunin kamu. Jadi kamu bisa bantuin Ibu masak. Dah, sudah. Lupakan! Besok bangun pagi, ya. Jangan goda Mas kalau di ran-jang. Bisa-bisa Mas teler dan bangunnya jam sepuluh lagi!" Suamiku menggoda sembari mencubit pipiku. *** "Bapak makan apa sini Ibu ambilkan. Mau tumis atau mau sayur sop saja?" tanya ibu. "Tumis saja, Bu. Yang banyak, ya. Nasinya sedikit saja!" jawab Bapak mertuaku. "Farid makan tumis apa sayur sop?" Kali ini aku lihat Ibu sengaja mendahuluiku untuk melayani Mas Farid. "Biar Minari saja, Bu. Mas Farid pasti suka tumis, 'kan? Sini aku ambilkan!" Kali ini aku memotong tawaran ibu untuk melayani suamiku. "Naaaa…. Mulai, 'kan?! Sok tahu ini istri kamu ini! Hei Minari, kamu tahu, ini saya masak dua menu. Satu sayur sop. Dua, tumis. Tahu nggak, Bapak sukanya sama sayur ditumis, tapi Farid ini nggak suka. Makanya ibu masak sop juga. Tu, kasih tahu istrimu ini!" Kali ini ibu menghardikku dengan suara yang sangat keras. "Bu, Ibu, tolonglah, Bu. Dek Minari ini baru kemarin sore lho tinggal di rumah ini. Ibu tu ya, kenapa? Maklum lah kalau Dek Minari ini belum tahu kebiasaan dan kesukaan Farid," sergah bapak. "Tahu lah! Ibu nggak jadi makan! Situ kalian bertiga makan sendiri!" Braakkkk!!! Ibu menuju kamar dan membanting pintu. -BERSAMBUNG- Nb. Assalamuallaikum wr. wb. Hai Kak, lanjutan cerita ada di akun saya, ya.. Bila berkenan, mari mampir ke akun saya dan jangan lupa follow akun dan cerita saya.. Semoga Kakak dilancarkan rejekinya.. Terima kasih ❤️🙏 Wassalamuallaikum wr. wb.
1
Faida Risqiana
Assalamualaikum, salam kenal ya Kak, bila berkenan yuk mampir ke ceritaku, judulnya Kegagalan Membawa Berkah 🙏🏻😊
1
Okta Novita
Salam kenal, Kak. Kalau berkenan, boleh mampir ke ceritaku, ya 🤗 "DINGINNYA SUAMIKU - My Husband Secrets" Kupandangi wajah tampan yang sudah lelap dalam tidurnya. Rasa damai memenuhi hati ini hanya saat mata Arsya Narendra—suamiku—sedang memejam. Dia terlihat seperti malaikat yang sudah menggenapi hidupku yang sempat hampa. Lelaki berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu telah menghalalkanku di depan Ayah tepat tiga bulan yang lalu. Rasanya masih belum percaya jika hubungan kami yang begitu mesra berubah sedingin bongkahan es. “Kamu ngapain di sini?” Aku terperanjat. Mas Arsya tiba-tiba membuka mata, padahal baru sekitar setengah jam dia tertidur. Gegas kubawa tubuh ini turun dari tempat tidur tanpa menjawab pertanyaannya. Aku diam, menunduk dalam posisi berdiri di samping tempat tidur. Tubuh ini gemetar dengan ujung jari saling meremas. “Kamarmu di sebelah! Lupa?” tukasnya sedikit membentak. “Ma–maaf, Mas. Ta–tadi ada tikus masuk kamarnya Mas Arsya,” jawabku gugup. Mas Arsya menggeleng kasar, lalu menoleh ke arah pintu saat aku memandangnya. Sepertinya, itu isyarat agar aku keluar. “Permisi, Mas,” pamitku sebelum melangkah ke luar kamar. “Tunggu!” seru Mas Arsya. “Ambilkan saya minum dulu!” lanjutnya. Aku pun berlalu dengan hati yang terasa kembali tersayat. Ingin rasanya mengaku kalah dan pergi jauh, tetapi seolah-olah ada yang berbisik agar aku bertahan. Entah dorongan dari mana dan untuk apa? Aku hanya ingin bahagia. Segelas air putih kuangsurkan pada Mas Arsya yang sedang duduk bersandar di atas tempat tidur. Kemudian, aku segera pergi dari kamarnya. Gugup ini selalu menguasai jika bertemu muka dengan Mas Arsya karena kedua matanya yang menatapku benci. Air mata pun mulai mengalir membasahi pipi. Semua berawal dari liburan bersama bulan lalu. Aku, Mas Arsya, dan Arumi—putri Mas Arsya dari istri pertamanya yang sudah meninggal—berencana untuk menghabiskan akhir pekan di rumah orang tuaku. Memang setelah menikah, kami belum sempat mengunjunginya sekali pun. Ya, takdirku memang menjadi istri kedua dari Mas Arsya, tetapi bukan itu masalah sebenarnya. Keteledoranku saat menjaga Arumi yang masih berusia tiga tahun membuat gadis kecil itu tutup usia. Saat itu, kami sedang menghentikan perjalanan untuk makan siang. Sementara Arumi merengek untuk dibelikan es krim. Aku pun pamit pada Mas Arsya untuk mengajak putrinya ke minimarket yang letaknya tepat di seberang restoran. Dan musibah itu terjadi. Arumi berlari cukup kencang hingga tanganku yang tadinya menggandeng tangannya terlepas. Gadis kecil itu tertabrak sepeda motor meskipun aku sudah mendapatkan tangannya lagi. Sebenarnya, aku juga terluka, tetapi Arumi tidak selamat. *** Aku mendesah berat. Meskipun Mas Arsya masih memberikan nafkah lahir, tetapi aku seolah-olah bukan lagi seorang istri. Semua pekerjaan rumah sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga, padahal sebelumnya, untuk urusan memasak diserahkan kepadaku. Dulu, dia sangat suka dengan apa pun yang aku masak, tapi sekarang, hanya sekadar menyebut namaku saja, dia enggan. Memang kesalahan yang kuperbuat tidak akan bisa dimaafkan. “Yang sabar, Mbak. Mas Arsya pasti akan luluh lagi. Dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah kehilangan mamanya Non Arumi, dia juga harus kehilangan putrinya.” Perkataan Bik Narti justru membuat hati ini makin merasa bersalah. Aku memang bukan istri dan ibu yang baik. Aku, Amanda Nurita sudah membunuh putri dari suamiku sendiri. Aku memejam sambil menarik napas panjang untuk mengurai sesak di dada yang terasa kian mengimpit. Bersamaan butiran kristal hangat yang keluar dari sudut mata, beban hati ini pun ikut meluruh meskipun hanya sedikit. “Mbak Amanda jadi ke makam? Kalau jadi, saya ikut,” pinta Bi Narti, membuyarkan lamunanku. “Jadi, Bi … jam delapan kita berangkat,” jawabku, lalu meninggalkannya ke kamar. Hari ini, tepat empat puluh hari Arumi pergi. Namun, Mas Arsya tidak mau diadakan pengajian di rumah. Bahkan, dia selalu pergi lebih pagi dan pulang larut malam setiap harinya, di hari libur sekalipun. Untuk menghindariku pastinya. 'Aku mencintaimu, Mas. Namun, aku kesulitan untuk bertahan dalam pernikahan yang penuh kebencian.' Tepat jam delapan pagi, aku dan Bi Narti berangkat menuju makam Arumi. Mendoakannya adalah yang utama. Dan setelah ini, mungkin aku akan melepaskan Mas Arsya dari beban. Dia tidak perlu lagi melihat wajahku, bahkan bayanganku di rumahnya. Di depan pusara anak yang sudah sangat kusayangi, lutut ini melemas. Aku ingat betul kejadian di mana darah bersimbah di sekitar kepala Arumi sebelum aku ikut tak sadarkan diri. Aku tergugu dan tentunya masih saja menyalahkan diri sendiri yang teledor. "Maafkan bunda, Nak. Bunda tidak bisa menjadi pengganti mamamu." Aku berucap lirih sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air mata ini tidak boleh jatuh lagi meskipun tidak mampu ditahan. Saat doa sedang kupanjatkan, suara keras membuatku kaget. Aku yang dalam posisi jongkok, langsung terjungkal ke belakang. Tentu aku terkejut bukan main "Siapa yang mengizinkanmu kemari?! Kamu sudah membunuh anakku dan kamu masih beraninya kemari! Pergi! Jangan pernah memperlihatkan wajahmu lagi di depan makam Arumi!" Mas Arsya memekik dengan mata berkilat amarah. Aku bangkit dibantu Bi Narti. Asisten rumah tangga itu tampak ketakutan melihat majikannya yang dipenuhi emosi. Tangan perempuan berusia sekitar lima puluh tahunan itu gemetar saat memegang lenganku. "Ayo, kita pulang, Mbak. Kita nggak bisa apa-apa kalau Mas Arsya sudah marah. Bibi takut kalau Mbak Amanda jadi korban pelampiasannya lagi," bujuk Bi Narti dengan suara pelan. Ya, memang sejak kepergian Arumi, Mas Arsya mulai bersikap dingin kepadaku. Beberapa kali bentakan dan cacian pernah kuterima hanya karena masuk ke kamar putrinya. Meskipun tidak pernah ada kekerasan fisik, Mas Arsya tampak menyesal setelahnya. Biarpun tidak ada kata maaf keluar dari mulutnya, aku tahu dari sorot matanya. Dia pasti langsung pergi dari rumah dan kembali di pagi hari, kemudian pergi lagi setelah membersihkan diri. *** Aku mulai memasukkan pakaian ke dalam koper dan bersiap untuk pergi selagi Mas Arsy tidak di rumah dan Bi Narti sudah tidur. Gelapnya malam ini hampir sama dengan gelapnya nasibku. Meskipun hati ini berat meninggalkan Mas Arsya, tapi aku juga tidak mungkin tetap tinggal di tempat yang sudah menginginkan kepergianku. Brak! Aku menoleh seketika saat suara keras terdengar diikuti pintu kamar yang terbuka. "Bagus," ucap Mas Arsya sambil bertepuk tangan. Ada seringai menakutkan di wajahnya saat menatapku. "Ma–Mas." Aku perlahan berdiri dan beringsut mundur. Napas ini pun mulai pengap karena ketakutan yang tiba-tiba menyergap. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dan bahagia sendiri setelah merenggut Arumi dariku." Mas Arsya mulai mendekat. "Ma–maaf, Mas. Aku—" Tubuh ini terasa gemetar dan ucapanku pun terhenti saat jarak dengan laki-laki yang dikuasai emosi itu sangat dekat. Tangan kanan Mas Arsya terangkat dan itu makin membuatku tidak bisa berkutik. Aku memilih menunduk dan memejam, menunggu apa yang akan terjadi setelahnya.
1
Enik Yuliati
Simpanan Kesayangan Part 1. Berita perselingkuhan suami. Pov. Shellyn Pelan-pelan, kurasakan tangannya yang kokoh mulai bergerilya menjamah wajahku. Tatapan matanya yang kian berkabut, seolah sedang menelisik wajahku. Ku pejamkan mataku. Ku pasarahkan hatiku, ku pasrahkan jiwa dan ragaku. Aku pun begitu menikmati semua rasa yang dia berikan. Kunikmati waktu demi waktu yang bergulir dengan demikian cepat. Ku tumpahkan rasa rindu yang demikian membuncah, menyesakkan dada. Hingga terdengar suara serak dari bibirnya, yang berulang kali menyebut namaku, tepat di indra pendengaranku. **** Di sinilah, aku bersamanya. Di sebuah hotel bintang lima, di lantai tiga. Hujan deras di akhir pekan, membuat kami tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sangat mewah ini, untuk saling menikmati, saling melepas kerinduan yang yang hampir tidak dapat terbendung lagi. Di tempat seperti inilah, kami biasa mencuri waktu, di tengah kesibukannya sebagai seorang aktor yang sedang naik daun. "Sayang, maaf, nanti malam aku harus pergi lagi," ucapnya. Aku yang masih berselimut di tempat tidur, hanya bisa memandangnya dengan gamang. Selalu seperti itu. Dia akan pergi meninggalkan aku, setelah semuanya selesai. "Simpanan kesayanganku, kenapa cemberut ?" godanya. "Kamu jangan khawatir, dini hari nanti, aku bakalan pulang ke sini. Aku akan tidur di sini, memelukmu sampai pagi. Kita akan bersenang-senang," janjinya. Dia pun berjalan mendekatiku. Kulihat perutnya yang seperti roti sobek, yang terlilit handuk di bawahnya. Kulihat rambutnya yang basah. Bahkan di dadanya masih menetes air dari rambutnya, yang menambah kadar pesonanya. Jangan bayangkan, saat keringat dari tubuhnya bercucuran, saat bersamaku tadi. Siapa pun akan berteriak girang dan histeris, jika melihatnya. Dia selalu tampak maskulin, selalu tampak seksi di mataku. Bukan hanya di mataku, namun di mata jutaan para penggemarnya, yang tengah menggandrunginya. **** Siapa yang bisa menyangkal pesona seorang Zein Abdul Malik. Bintang muda yang tengah naik daun. Yang sedang menjadi idola bagi para remaja, hingga ibu rumah tangga. Bahkan hanya dengan mendengar namanya, mereka akan berteriak dengan histeris. Wajahnya yang tampan rupawan, seolah terpahat dengan begitu sempurna. Di tambah lagi dengan jam terbang yang sangat tinggi, di layar lebar maupun di layar kaca. Membuat dia begitu digilai oleh kaum hawa. Pesonanya, mampu meluluh lantakkan hati semua wanita. **** Sebuah anugerah yang sangat luar biasa, saat dia ingin menghalalkan aku. Meskipun harus melewati jalan yang demikian berliku, demi untuk sebuah pernikahan resmi, yang dirahasiakan dari publik. Aku yang sedang merintis karir sebagai seorang model, harus merelakan mimpiku, demi menikah dengan pujaan hatiku. Aku yang dulunya selalu berpakaian modis, dengan gaya stylish, sekarang sudah berhijrah, mengikuti adab keluarga suamiku. Kututup seluruh auratku dengan kerudung lebar, yang menjulur hingga menutupi dada. Akulah, istri sah, yang disembunyikan. Namun dia sering menyebutku dengan simpanan kesayangan. Saat dia hanya berdua denganku, dia akan menjadi seorang suami yang sangat penyayang. Suami yang sangat romantis. Kata-katanya sangat manis. Namun saat kami ada di ruang publik, dia akan menjadi pribadi yang berbeda, seolah di antara kami tidak ada ikatan apa-apa. Seolah kami adalah orang lain, yang tidak saling mengenal. Jangan tanyakan, bagaimana perasaanku. Memiliki suami dengan predikat aktor, namun aku tidak bisa memamerkannya. Tidak bisa untuk sekedar menemuinya, saat hatiku tengah dirundung rindu. Bahkan untuk sekedar memasang fotonya di media sosialku, aku harus berfikir ribuan kali. Aku hanya bisa memamerkan punggungnya, untuk sekedar kuunggah di dunia maya. Tidak, dengan wajahnya. Aku hanya bisa memamerkan tangan kami yang saling menggenggam. Aku hanya bisa memamerkan sepatu kami yang saling berjejeran. Aku seperti tidak punya hak, atas suamiku sendiri. Kadang, dalam heningnya malam, aku menangisi pernikahan ini. Pernikahan yang tidak seperti pada umumnya. Pernikahan yang disimpan demikian rapat, demi karir suamiku. **** "Sayang, bangun, dong, mandi. Apa mau aku yang mandiin?" Suamiku berjalan mendekatiku. Tiba-tiba saja, dia sudah menyibak selimut yang menutupi tubuh polosku. Dia mengangkat tubuhku begitu saja, dan memasukkan aku ke kamar mandi. Aku hanya bisa menurut, saat dia mulai membasahi tubuhku dengan air yang mengalir. Aku hanya pasrah, ketika dia mulai menggerakkan tangannya, untuk menggosok setiap inchi tubuhku, dengan sabun. "Pejamkan mata kamu," perintahnya. Dia pun mulai menuangkan shampo ke atas rambutku. Telapak tangannya yang besar, mulai mengacak rambutku. Setelah itu, dia mulai mengguyurkan tubuhku di bawah shower. Perlakuannya sangat manis, bahkan teramat manis. Hanya satu yang tidak bisa dia berikan. Yaitu mengakui di depan publik, bahwa dia sudah menikahi aku. Dan aku pun tidak bisa menuntut untuk hal itu, karena memang sebelumnya hal itu sudah dibicarakan dengan semua anggota keluarga, dan kami semua sudah saling sepakat. Apalagi, Mas Malik masih belum menyelesaikan sebuah kontrak kerja, yang masih kurang satu tahun. Dalam kontrak itu, ada poin yang menyatakan, tidak boleh menikah, sebelum kontrak selesai. Pernikahan yang seharusnya membahagiakan, penuh dengan ucapan selamat pun, harus berjalan dengan sembunyi-sembunyi. Entah bagaimana, orangnya Mas Malik mengurus semuanya. Yang jelas, pernikahan kami tercatat oleh negara, dan kami pun memegang surat nikah. **** "Sayang, habis Maghrib nanti aku ajak kamu naik ke lantai paling atas. Kita melihat lampu-lampu, yang sangat indah. Sebisa mungkin, aku akan meluangkan waktuku untuk menemanimu, jika aku sedang tidak bekerja," kata Mas Malik. Aku pun mengangguk, tersenyum ke arahnya. Dia selalu berhasil mengembalikan mood ku yang sudah berantakan. **** Benar saja, setelah shalat magrib, Mas Malik segera memakai masker dan topi. Dia menggandeng tanganku, memasuki lift, menuju lantai paling atas. Setelah itu kami berjalan menaiki tangga, menuju atap hotel. Tampaklah pemandangan yang sangat menakjubkan. Indahnya metropolitan, terlihat dari gedung pencakar langit. Aku takjub dan berdecak kagum. "Mas, kamu kok tahu tempat ini, dari mana?" Kusandarkan kepalaku, ke dadanya yang keras. "Aku pernah syuting di sini," jawabnya. Dia memeluk tubuhku, sambil mencium pucuk kepalaku. "Lawan mainnya, siapa?" Aku bertanya karena penasaran. "Lupa, sudah dulu sekali. Dulu, sebelum aku kenal kamu. Bahkan waktu itu aku sudah berniat, suatu saat nanti, akan mengajak orang yang paling spesial, untuk ke sini. Dan sekarang, baru bisa terwujud," terangnya. Mendengar kata-katanya, seketika aku merasa bahagia, seolah ada kupu-kupu yang berterbangan di hatiku. Aku memeluknya, lebih erat lagi. Seandainya saja, mereka semua tahu. Bahwa Zein Abdul Malik, sudah menjadi suamiku. "Mas, aku pingin sesuatu, boleh enggak?" tanyaku manja. Aku pun melepas masker itu dari wajahnya. Dia pun mencubit hidungku, dengan sayang. Dalam keadaan remang-remang, aku bisa melihat wajahnya yang sangat tampan. "Apa, katakan saja. Aku sudah mentransfer uang, ke rekeningmu, besok kamu bisa bersenang-senang, bersama para sepupumu," Menyebalkan. Bahkan di saat seperti ini, dia justru membahas soal uang. "Aku ingin, kamu teriak di sini, bahwa kamu sudah menikahi aku," pintaku. "Ok, siapa takut?" "Hai, dunia. Aku, Zein Abdul Malik, sudah menikahi Shellyn. Perempuan yang paling cantik, di dunia. Aku mencintainya, aku tergila-gila kepadanya !" teriaknya sangat kencang, namun sayang, tidak akan mungkin terdengar sampai ke bawah sana. "Sudah, puas kamu, Sayang? Kamu jangan khawatir, suatu saat nanti aku akan mengakuimu sebagai istriku, kepada semuanya." Dia pun menggenggam tanganku, seolah bisa membaca kemelut di hatiku. Kemudian memakai kembali masker untuk menutupi wajahnya. "Turun, yuk ? Sebentar lagi aku harus pergi ke lokasi syuting," Dia menarik tanganku, mengajakku berjalan cepat dengan setengah berlari. "Kamu itu adalah yang paling istimewa, di hatiku. Pernikahan ini bukan mainan, hanya saja belum bisa mengabarkan kepada semua. Nanti, jika waktunya tiba. Pasti aku akan memperkenalkan kamu, sebagai istriku. Bukan lagi sebagai simpanan kesayanganku. Kamu harus lebih bersabar lagi," Dia menciumku dengan sangat lembut, sebelum akhirnya keluar dari kamar hotel meninggalkanku. Aku yang merasa jenuh, kemudian mencoba untuk menyalakan televisi. Semua channel hanya berisi acara yang membosankan. Aku yang sedang sibuk mengganti channel TV, tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah berita. "Seorang aktor kenamaan tanah air, Zein Abdul Malik, diisukan sedang dekat dengan lawan mainnya. Mereka diisukan terlibat cinta lokasi."
1
Eka Bigmama
halo, salam kenal, mampir ke ceritaku yuk 🐣Bambang dan Markonah (komedi) 🐣kembalikan jantungku (horor) 🐣suamiku menjual anakku nanti aku readback ceritamu, jangan lupa tinggalkan jejak ya, terimakasih🤗
1